Penantian Senja

Penantian Senja
Oleh: Amira (SMK Al Islah Surabaya)

Aiden duduk di jenjang kursi panjang dekat halaman dengan di temani oleh secangkir teh hangat dan buku diary kesayangannya. Bau tanah basah usai hujan reda menggiring tangannya yang mulai berkutik diatas lembaran. Kata demi kata menghiasi tiap bait jajaran puisi yang tercipta.

Petang di atas langit menyambut suasana bahwa malam akan segera tiba. Menyadari hal itu, Aiden mulai mengemasi barang dan masuk ke dalam rumah. Lisannya bergerak menghayati puisi yang berisikan sebuah harapan. Disana tersirat bahwa ia merindukan senja nan jingga. Sungguh dirinya tak tau sampai kapan penantian ini akan berakhir.  
Secercah cahaya menembus sela-sela jendela hingga Aiden terbangun dari tidurnya. Di hari libur ini ia akan menemui suatu tempat yang sudah lama tak dikunjungi. Disinilah dia berada, bukit terpencil desa, letak surga dunia. Dimana orang yang melihatnya akan terhipnotis oleh ketakjuban alam dengan menyuguhkan sekumpulan bukit berbaris rapi di ujung desa.

Indera peciumnya menghirup udara segar yang melewati setiap detik nafasnya. Ia memejamkan mata dan merentangkan tangan ke atas untuk menikmati keindahan alam walau tak seperti yang diinginkan. Hanya sebuah harapan dibenaknya bahwa bukit ini layak dihiasi kembali oleh senja. Pandangan Aiden mulai terhenti ketika rintik hujan jatuh diatas kepala, ia pun bergegas pulang menuju ke rumah.

Keesokan hari saat Aiden berjalan di koridor kelas ia menemukan pemandangan senja yang mempesona terlukis di atas kanvas. Tiba-tiba seorang perempuan menghampirinya.

Nadin : Permisi, lukisan itu milik saya.
Aiden : Eh maaf saya tidak tahu. Ini saya kembalikan.
Nadin : Terima kasih banyak, tadi saya tidak sengaja menjatuhkan disini.
Aiden : Oh iya tidak apa. By the way kamu suka senja?
Nadin : Iya aku sangat menyukai keelokannya.
Aiden : Aku tau dimana tempat senja bersembunyi,  namun kita harus menunggu hingga musim kemarau tiba.
(Nadin terdiam sejenak)
Nadin : Hmm apa boleh aku melihatnya dahulu?
Aiden : Tentu saja. Akan kutunjukkan nanti.
Nadin : Oke..

Selepas bel berbunyi mereka berdua menuju ke tempat yang ditujukan. Mata Nadin mulai terhipnotis oleh mahakarya tuhan sesuai dengan kata warga desa ini. Pikirannya tak lepas dari imajinasi jika bukit berbaris ini nantinya akan di temani oleh sang jingga merah.

Ekspresi Aiden sedikit canggung melihat Nadin yang masih setia tak melespaskan kekagumannya.Ia mengisi keheningan diantara keduanya.

Aiden : Hei sampai kapan kau berhenti dari khayalanmu?
(Nadin tercengang dengan perkataan Aiden)
Nadin : Hah? maaf hehe. Andai saja bukit ini diselimuti oleh senja.
Aiden : Sepertinya kau memiliki harapan yang sama denganku.
Nadin : Apa maksudmu?
Aiden : Aku mencintai senja sejak pertama datang ke tempat ini. Dia yang menggiring tanganku menari-nari di atas lembar puisi.
(Nadin tersenyum manis)
Nadin : Kita akan menyatukan puisimu dan lukisanku atas nama senja jika jingga merah menampakkan dirinya di ujung bukit ini.
Aiden : Bagus sekali ide mu kalo begitu kita deal ya.
Nadin : Oke deal.

Mereka pulang membawa janji dengan perasaan bahagia, menungggu penantian berharga sembari fokus pada ujian menengah ke atasnya.
Tak jauh dari Aiden, Nadin pun antusias mengerjakan soal karena mereka menghabiskan waktu hanya untuk belajar.

Tak terasa ujian sekolah telah mereka lalui bersama. Sedangkan cuaca akhir pekan kini mulai bersahabat seiring dengan berjalannya waktu, dua anak manusia ini menyadari bahwa penantian berharganya akan segera tiba.

 “Aku akan membawamu ke bukit senja impian” (Aiden bergumam) dengan mata sayu sambil memegang lembaran puisinya. Disisi lain, Nadin memandang lukisannya pada sudut ruangan dan mulai tersenyum.. “tangan ini akan terus berkarya saatku melihatmu kembali, senja”.

Bagai anak laskar pelangi dalam buku sang pemimpi, mereka berdua berlarian gembira selepas pulang sekolah menuju tempat yang sangat di impikan. Dan tak lupa dengan membawa barang yang sudah menjadi temannya selama penantian ini.

Sepanjang waktu terasa seperti sepanjang harapan, kini mereka telah berada di hujung senja. Sungguh penantian yang tak sia-sia. Senyum lengkung mulai tampak meriasi wajah mereka.

Aiden : Akan ku mulai pensyairan puisi ini
Nadin : Dan aku pun akan memulai kembali  melukis senja yang sudah lama tak menampakkan dirinya.


Akhirnya penantian, harapan, impian dan semua angan mereka telah berada di puncak pencapaian. Dengan rasa semangat yang tak kunjung lelah dua anak manusia ini mendapatkan apa yang di cita – citakan.

Semoga kita semua dapat belajar banyak hal tentang kehidupan yang mereka kisahkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages

wa