Oleh:
Dr. KH Imam Ghazali Said M.A
( Pengasuh Pesantren Anak Yatim Al-bisri)
Sudah menjadi realitas sejarah, kaum muslimin pasca rasulullah SAW
terlibat dalam “perdebatan”politik; siapa berhak menggantikan posisi
beliau sebagai panutan agama dan kepemimpinan politik? Pertanyaan ini “seolah-olah”selesai,dengan
terpilihnya Abu Bakar ra. Sebagai khalifah dalam”permusyawaratan
demokratis” di Bani Tsaqifah.Tetapi sebetulnya terpilihnya Abu Bakar itu
bukan satu-satunya jawaban yang diterima oleh semua kaum muslim
(baca:para sahabat) waktu itu.Buktinya,Siti Fatimah ra.putri Rasul
Saw.tidak loyal (tidak membaiat) sekaligus tidak mengakui kekhalifahan
Abu Bakar ra. Sementara suaminya Ali bin Abi Thlib ra.”enggan”membaiat
Abu Bakar,kecuali setelah Siti Fatimah wafat.
Peristiwa inilah yang dipahami”secara politis”oleh para kaum Muslim berikutnya,bahwa sejak awal telah terjadi embriyo dua mazhab politik:penguasa dan oposisi.Sayangnya,dalam perjalanan sejarah,dua pilar sistem”demokrasi” ini gagal diformalkan menjadi satu sistem yang legal dalam pemerntahan Islam.Yang terjadi malahan masing-masing aliran-dengan argumen teologis antara yang satu dengan yang lain-,saling menyesatkan bahkan saling mengkafirkan.Dua aliran ini kontriknya menjadi Ahlissunnah maupun Syiah.Dalam perkembangannya, masing-masing memilih sistem politik dinasti atau kerajaan yang tentu saja dalam alih kekuasaan dan kebijakan politik jauh dari permusyawaratan dan demokratisasi yang menurut keterlibtan rakyat sebanyak mungkin dalam semua kebijakan; reformasi kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan politik.
Mazhab Sunni memperjuangkan tegaknya dinasti Umayyah,’Abbasiyah dan
terakhir Turki Utsnami.sedangkan,Syiah berjuang dan menegakkan sekaligus
mempertahankan dinasti Fathimiyah, Qajar dan Shafawiyah, walaupun
dinasti terakhir tak secara tegas menyatakan Syiah.
Diantara dua mazhab politik tersebut muncul mazhab ketiga
yang lebih ekstrim yang populer dengan sebutan khawarij.Dari sudut
konsep pemikiran politik mazhab ini lebih demokratis dibandingkan Syiah
dan Ahlissunnah.Ini,karena-menurut khawarij-kepada negara dalam Islam
tidak ada syarat suku,bangsa dan kedekatan nasab dengan Rasul saw.Yang
terpenting menurut mazhab terakhir ini,kepada negara itu harus kapabel
dan akuntabel dalam memimpin rakyat,dan proses pengangkatan harus
melibatkan seluruh kaum muslim.Tugas pokok terpenting kepada negara
adalah menerapkan syariat Islam apa adanya,tak perlu rasionalisasi
terlalu jauh.
Idealisme pandangan politik sekte khawarij ini disertai
pembatasan yang sangat kuat dan keras.Statemen mereka diantarannya yang
sangat populer; ”hukum hanya milik Allah”. Barang siapa yang tidak
melaksanakan hukum Allah,maka ia kafir.”penguasa yang tidak melaksanakan
hukum Allah dan tidak menegakkan keadilan wajib diperangi dengan
jihad”. Melakukan dosa besar itu pasti kafir.Konsekuensi dan pemikiran
ideal ini,mereka hidup secara spiritural”sangat taat”,dengan
ekspresi;lidah mereka sangat rajin salat tahajjud,siang mereka
berpuasa.Bahkan karena terlalu sering bersujud jidad mereka menebal
dengan warna hitam.
Idealisme ini mereka barengi dengan sikap over ekstrim
terhadap orang-orang yang tidak sependapat dengan sikap dan pemikiran
mereka.Penguasa yang menerima hukum berdasarkan keputusan manusia adalah
kafir yang wajib dibunuh dan diperangi.Sikap dan pemikiran yang
“revolusioner”ini yang memotifasi tindakan pembunuhan terhadap Gubernur
Mesir Amr bin Ash ra.dan pendiri dinasti umayyah Muawiyah bin Abi Sufyan
ra.yang gagal. Mereka sukses membunuh khalifah keempat Ali bin Abi
Thalib ra.Mereka sangat yakin bahwa Muawiyah,Ali dan Amru adalah murtad
dan kafir,karena ketiganya membuat kesepakatan damai pada akhir perang
Shiffin di luar hukum Allah dalam Alquran.
Konsistensi,keteguhan dan “kebongolan”mereka dalam
berbagai situasi,menyebabkan hidup mereka selalu berda diantara dua
pilihan membunuh dan dibunuh.Menyerah untuk menang,diplomasi dan
gencatan senjata tak ada dalam kamus mereka.Sikap over ideal dan ekstrem
inilah diantaranya yang menyebabkan mereka “gagal” untuk mendirikan
negara sisa-sisa kaum Khawarij dikejar-kejar dan dibunuh oleh para
penguasa muslim,baik dari keluarga Ahlisunnah maupun Syiah.
Kaum khawarij ada yang bisa bertahan membangun komunitas
di dua kawasan terpencil, yang jauh dari pantauan pusat kekuasaan.
Akhirnya, mereka harus “memoderasi” doktrinya, dengan tidak mengkafirkan
saudaranya sesama muslim. Doktrin politiknya juga mengalami “restorasi”
dengan menerima sistem dinasti, sesuai perkembangan sistem politik,
dimana mereka bisa hidup dari kejaran penguasa.
Dinasti yang punya latar belakang khawarij yang sampai
era modern ini masih eksis adalah Kesultanan Omman di ujung timur teluk
Persia dan komunitas Polistariyo yang berada di Sahara Raya Maroko.
Komunitas terakhir, sampai saat ini masih terus berjuang untuk
melepaskan diri dari cengkraman Kerajaan Maroko.
Paparan di atas menunjukkan bahwa pengkafiran (takfir)
dan penyesatan (tadhlil) lebih dipicu oleh pertarungan elit politik yang
bersifat idiologis antara sesama muslim dari pada tuntutan pemahaman
murni keagaman. Ahlissunnah yang paling lama menikmati kekuasaan
mengembangkan idiologi “moderatisme” (wasthiyah) dalam pemahaman
keagamaan, sekaligus menggagas pengkafiran dan penyesatan pada
mazhab-mazhab kaum Muslim yang beroposisi pada kekuasaan. Tindak
kekerasan dengan dalil kafir dan sesat terhadap opsan muslim, baik itu
Syiah atau Khawarij memenuhi lembaran sejarah hitam politik Islam.
Sebaliknya, Syiah dan Khawarij yang secara politik
berperan sebagai oposan juga mensosialisasikan idiologi pengkafiran,
penyesatan dan penzaliman terhadap Ahlissunnah yang berkuasa. Akhirnya
tindak kekerasan, antara penguasa dan opsisi kerap terjadi dengan
keyakinan, masing-masing merasa tindakanya itu benar sebagai jihad untuk
membela Islam. Padahal, sebetulnya yang mereka bela itu pemahaman Islam
yang mereka jadikan idiologi untuk menghadapi kekuasaan yang tak
mungkin bisa dilawan dalam waktu cepat, Syiah – dengan argumen keagamaan
– mengagas teologi “kepura-puraan” (taqiyah), untuk menyelamatkan
eksistensi mazhab dari keberingasan penguasa. Teknologi “cerdas” ini
mampu memberi keleluasan bagi para penganut Syiah untuk menyelinap pada
semua sektor kekuasan ahlissunnah. Pada proses lebih lanjut Syiah mmpu
mendirikan kekuasaan yang mandiri yang terlepas dari kontrol
Ahlissunnah. Sementara khawarij, karena idiologinya yang “bongol” gagal
memperhatikan idealisme pemikiran politiknya, dan hanya mampu mendirikan
kekuasaan setelah mereka memoderasi ekstrimisme politiknya. Akibatnya
ciri Khas Khawarij seperti gagasan awal menjadi sirna.Itulah yang
terlihat dalam sepak etjang Kesultanan Omman saat ini.Hampir semua kaum
Muslimin tak mengira bahwa negara mini dalam bentuk Kesultanan ini
adalah aktualisasi pemikiran politik sekte Khawarij.
Dari tiga aliran politik tersebut (Ahlissunnah, Syiah dan
Khawarij), masing-masing mengembangkan sektenya, agar mampu bersaing
untuk “merebut” pengikut, baik kalangan awam, maupun komunitas
terpelajar. Faktor inilah yang diantaranya mendorong munculnya aliran
rasionalis dan teksturnya dalam bidang-bidang keilmuan yang
dikembangkan. Dalam Ahlissunnah, muncul istilah khalafi dan salafi
sebagaiekspresi tekstualis dan rasionalis. Dan kita mau jujur Muktazilah
pun sebetulnya bagian dari Ahlissunnah dari faksi rasionalis. Ini dapat
diketahui dari fakta bahwa sebagian besar tokoh Muktazilah yang menjadi
pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Ini dapat dipahami bahwa Muktazilah
adalah aliran teologi yang lahir dari “rahim” Ahlussunnah yang
sepantasnya kita ikut mengkafirkan mereka.
Dalam syiah juga muncul dua aliran: tekstualis dan
rasoinalis yang terekspresi pada yang mereka namakan Uhsuli dan Ahbari,
yang tentu tak pada tempatnya dijelaskan dalam makalah singkat ini.
Dalam Khawarij juga mucul kecenderungan tekstual dan rasional itu.
Andaikan Khawarij tak mampu beradaptasi secara rasional dengan
perkembangan budaya lokal dan arus pemikiran yang terjadi di kalangan
Ahlissunnah dan Syiah, nicaya Khawarij tak akan mampu bertahan hidup
dengan mendirikan Kesultanan Omman. Realitanya “kelompok bongol” yang
sangat tekstualis dan cenderung menjadi teroris ini suka mengkafirkan
muslim lain, tak terdengar informasi, bahwa mereka berasal dari
Kesultanan Omman yang berlatar belakang Khawarij.
Ketika mayoritas kaum Muslim, secara prinsip “menimpang”
dari sistem ketatanegaraan Khilafah, denganmemisahkan diri dan membentuk
negara-negara kecil yang secara the facto terlepas dari komando
Khalifah sebagai kepala negara tertinggi,maka sebetulnya kaum Muslim
dengan tega madzab politik tersebut telah membangun model “kepemimpinan
dan komunitas politik” yang jauh berbeda dengan pemikiran dan madzab
politik masa awal.Komunitas Sunni membangun beberapa dinasti,yang antara
yang satu dengan yang lain tidak ada hubungan stuktual.Bahkan antara
negara-negara tersebut bersaing dan berebut untuk menghegomoni.dan jika
dimungkinkan menaklukan secara militer.Syiah dan Khawarij juga mengalami
kondisi politik yang jauh berbeda dengan komunitas Sunni. Tetapi,karena
populasi mereka terlalu kecil,maka komunitas Syiah terkonsentrasi di
Iran,Irak,Libanon,Bharain dan Syiria.Itupun di empat kawasan terakhir
masih bersaing untuk berebut pengaru politik dangan komunitas
Sunni.sementara Khawarij mambangun komunitas di Kesultanan Omman dan
sahara Raya (al-shahra al-kubra)Polistario Kerajaan Maroko yang sampai
sekarang untuk yang terakhir belum bisa membangun negara.
Paparan ini menjadi embiyobagi terapresiasinya paham
nasionalisme di kalangan kaum Muslim,baik sunni,Syiah,dan
Khawarij.Nasionalisme sebagai basis negara kebangsaan (nation state)
menawarkan konsep kesatuan bangsa,kesatuan geografis, dan kesatuan
bahasa direspon positif oleh sebagian besar kaum muslim yang tinggal di
beberapa kawasan yang mayoritas penduduknya Muslim.Mereka juga antusias
untuk menerima sistem politik demokratis,baik bentuk Republik maupun
Sistem kerajaan yang berparlemen.
Negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim
ini,mengalami kemusykilan ketika dihadapkan pada “posisi syariat Islam”
dalam negara kebangsaan yang demokratis.Pertarungan antara Islam sebagai
dasar negara dan yang menghendaki sekularisme negara terus bergerak
secara dinamis.Pakistan sebagai representasi negara sunni yang
demokratis masih mengalami problem “menjadikan fiqh sebagai satu-satunya
sumber hukum positif” ,yang ditentang oleh kelompok sekularis.Syariat
Islam adalah sumber utama dan terpenting bagi penerapan
undang-undang.Tapi pasal ini,dalam praktik sulit terealisasi,karena
ditentang oleh kelompok Muslim sekularis.Kondisi seperti ini juga
terjadi di Syiria,Yordania,Sudan dan lain-lain.
Iran yang memilih sistem Republik Islam,realitif sukses
dalam menerapkan fiqh mazhab jakfari dalam sistem tata hukum positif di
iran.Tetapi negara “Republik Syiah” ini menghadapi promblem juga,karena
tak memberi peran yang signifikan dan tak mampu memberi perlindungan
yang layak bagi kaum minoritas Sunni dan yang lain sebagai konsekuensi
sistem demokrasi Islam yang dianut.Sedang di Irak yang kekuatan Syiah
dan Ahlisunnah itu seimbang,malah memilih hukum sekuler,untuk
menghindari pertarungan antara Sunni dan Syiah yang kerapkali meletus
dalam bentuk tindak kekerasan dengan saling menyerang dan saling
mengebom.Entah sampai kapan tindakan ini “saling” akan berakhir.Negara
disini hanya bisa memberlakukan hukum Islam bidang al-ahwal
al-syahshiyah: Libanon juga memiliki sistem hukum sekuler,karena
kekuatan Islam terbagi pada Syiah,sunni.Sementara Kristen juga terbagi
pada Maronit,Ortodok.Di sarping itu masih ada kelompok minoritas agama
lain.
Melihat kondisi kaum muslim di negara-negara yang
menganut sistem demokrasi dalam bingkai nation statete seperti di
atas,maka tidak sepantasnyalah antara sesama muslim saling menyesatkan
apalagi saling mengkafirkan.Sebab hai itu akan memperlemah kompetisi
peran yang bisa dimainkan oleh kaum Muslim dalam satu sistem
pemerintahan demokratis,yang tentu saja harus menjauhi sikap dan
tindakan diskriminasi.
Di era modern ternyata watak pemikiran dan gerkan yang
mewarisi sekte Khawarij muncul,baik di kalangan komunitas Ahlisunnah
maupun Syiah,masing-masing dari faksi tekstualis.Jadi,semua gerakan yang
saat ini berkembang dengan aneka sebutan mulai
fundamentalis,ekstrimis,skriptualis sampai teroris dan lain-lain adalah
saudara-saudara kita sesama muslim yang seharusnya kita mampu
“melunakkan”,agar mereka berkenan mengakui kelompok lain diluar dirinya
(memoderatkan) sebagai saudara sesama muslim dan sesama umat
manusia,sebagai realisasi tujuan Allah menciptakan kita yang beragam
untuk saling mengenal.Kiranya perlu ada relasi dan interaksi interns
dengan mereka tanpa dasar curiga.Karena sebetulnya kita
bersaudara.Ini,selalu kita lakukan demi eksistensi kaum Muslim dan
keselamatan seluruh umat manusia.Kedepankan dialog kesantunan dan
moralitas.Hindari arogansi,penyesatan dan pengkafiran dalam tatanan
hidup yang tak mungkin menyendiri jauh dari berbagai aliran dan cara
pandang hidup yang beragam. Hindari kata kafir dan sesat jika Anda ingin
hidup,tenang dan mendapatkan anugrah kedamaian hati.Kedamaian,apalagi
kedamaian hati mustahil akan diraih melalui cara-cara dan tindakan
kekerasan apalagi keberulatan.
If you are be} working in-house and the CNC machining elements you’ve designed come out flawed, you’ll have determine out|to determine} a solution. precision machining However, if you’ve hired a precision machine store to take the reins, they’ll work through any points that arise and provide excellent customer service along greatest way|the means in which}. When you outsource your CNC machining work, find a way to|you probably can} keep away from the expensive, time-consuming setup and upkeep the method entails. A company like Nexus Automation can produce precisely what you need in the best portions as your organization works to deliver its products to market. First of all, they feature a spread of quality settings, which—in contrast to 3D printers—can create prototypes with rougher designs in some elements of the fabric and smooth designs in others. Ultimately, CNC machines are higher equipped to check prototypes outcome of|as a result of} they will shortly construct a design for builders to check.
BalasHapus