Miftahul Khoir (Pelaksana Harian YPAY Al Bisri)
Dari Jabir ra. Nabi SAW. bersabda: “Haji mabrur itu tidak
ada balasannya kecuali surga”. Rasul ditanya: “Apa tanda-tanda
mabrurnya?”. Nabi SAW. menjawab: “Suka membantu memberikan makanan dan
santun dalam berbicara”
(HR. Ahmad, al-Tabrani, dan lain-lain).
Pengertian haji mabrur
Dalam kitab Lisan al-‘Arab (IV/51), kata mabrur mengandung dua arti: Pertama, mabrur
berarti baik, suci dan bersih. Dalam pengertian ini, haji mabrur adalah
haji yang dilaksanakan dengan baik, tidak diperbuat di dalamnya hal-hal
yang dilarang seperti berkata kotor, berbuat fasik dan menyakiti atau
mengganggu orang lain termasuk menyuap orang untuk kemudahan amalnya
sementara orang lain mendapatkan kesulitan karenanya. Di samping itu,
bekal yang dibawa untuk berhaji adalah bekal yang halal dan bersih.
Kedua, mabrur berarti maqbul atau
diterima dan diridhai oleh Allah SWT. Dalam hal ini, haji mabrur adalah
haji yang tata caranya dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan
petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan memperhatikan syarat-syarat dan
rukunnya serta hal-hal yang wajib diperhatikan dalam berhaji.
Dari dua pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan haji mabrur adalah haji yang diterima dan diridhai oleh
Allah SWT. karena ibadah hajinya telah dilakukan dengan baik dan benar
serta dengan bekal yang halal, suci dan bersih.
Siapakah orang yang berhasil meraih haji mabrur?
Tentang siapa orangnya yang berhasil meraih haji mabrur, agaknya hal ini menjadi rahasia Allah SWT.Bisa jadi tidak banyak.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din (Vol.I/ 341)
mengisahkan perjalanan seorang ‘Alim yang shalih sedang menempuh
perjalanan haji. Namanya ‘Ali bin al-Muwaffiq. Dikisahkan: “Pada suatu
malam, tanggal 8 malam 9 Dzulhijjah (malam hari ‘Arafah) ia tertidur di
Masjid al-Kheif Mina. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat
sedang berdialog. Malaikat yang satu berbicara kepada malaikat yang
lain: “Hai teman (Abdullah), tahukah engkau berapa banyak orang yang
pergi haji tahun ini?”. Malaikat yang lain menjawab: “Tidak tahu!”.
Kemudian temannya tadi memberitahu bahwa mereka itu jumlahnya mencapai
600.000 jamaah. Kemudian ditanya lagi: “tahukah kamu berapa orang di
antara mereka itu yang meraih haji mabrur ?”. Tidak tahu!, jawab
temannya. Kemudian temannya itu menjelaskan bahwa yang meraih
mabrur/maqbul hajinya itu hanya 6 orang. Sampai dialog ini, dua malaikat
itu pun pergi. Setelah itu ‘Ali bin al-Muwaffiq pun terbangun dari
tidurnya dengan penuh penasaran, sedih dan gelisah.
Dalam hatinya bertanya: “Jika hanya 6 orang yang diterima hajinya dari
600.000 jamaah, apakah aku bisa masuk yang enam orang itu?”. Demikianlah
ia terus menerus merenungkan dan berusaha mencari tahu makna di balik
mimpinya itu. Selanjutnya ia berusaha melakukan ibadah hajinya dengan
sebaik mungkin agar berhasil masuk dalam kelompok enam yang hajinya
mabrur itu.
Kisah ini tidak jelas kapan terjadi dan seberapa jauh kebenarannya,
karena tak seorang pun sejarawan yang membuktikan fakta kebenaran
kisahnya. Terlepas dari benar tidaknya kisah tersebut, al-Ghazali yang
dikenal sebagai ulama yang amat masyhur dan mendapat julukan “Hujjatul
Islam” itu telah mencatat dalam Kitabnya yang amat monumental dan
berpengaruh di kalangan orang-orang yang mendalami masalah-masalah
spiritualitas. Sekurang-kurangnya yang dapat diambil hikmah dari kisah
tersebut adalah agar setiap orang yang menunaikan ibadah haji selalu
menata dan meluruskan niatnya, melakukan ibadah hajinya dengan baik dan
benar serta selalu berusaha dan berdoa agar ibadahnya diterima oleh
Allah SWT.
Beberapa indikator haji yang mabrur
Tidak mudah untuk mengetahui siapa-siapa yang berhasil meraih haji
mabrur. Namun demikian, Rasulullah SAW. pernah memberikan beberapa
indikatornya. Dalam sebuah hadits diterangkan sebagai berikut, yang
artinya
Dari Jabir ra. Nabi SAW. bersabda: “Haji mabrur itu tidak ada
balasannya kecuali surga”. Rasul ditanya: “Apa tanda-tanda mabrurnya?”.
Nabi SAW. menjawab: “Suka membantu memberikan makanan dan santun dalam
berbicara” (HR. Ahmad, al-Tabrani, dan lain-lain). Muhammad
Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih lighairih (Shahih
al-Targhib wa al-Tarhib, II/3).
Imam al-Nawawi dalam Kitab al-Idhah Fi Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah
hal. 516, mengatakan: Haji mabrur itu tanda-tandanya adalah setelah ia
pulang dari haji, keadaannya lebih baik daripada sebelumnya. Dari
keterangan hadits Nabi SAW. dan penjelasan Imam al-Nawawi tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa indikator ke-mabrur-an haji seseorang itu
dapat dilihat dari tiga hal:
Pertama, suka memberi makanan (ith’amut Tho’am). Perkataan
“memberi makanan” ini harus difahami lebih luas, yaitu kesediaan untuk
berbagi rasa dengan sesama serta kesanggupan untuk menyumbangkan
sebagian harta kita kepada fakir miskin atau kaum dhu’afa, baik
berkaitan dengan pendidikan, kesehatan (pengobatan), sandang, pangan
maupun papan.
Membantu orang-orang miskin termasuk hal terpenting dalam beragama.
Allah bahkan terang-terangan menyebut sebagai pendusta agama, bagi orang
yang tidak mau membantu orang-orang miskin dan menyayangi anak yatim.
(QS. Al-Ma’un, ayat 1-3).
Dikisahkan bahwa ada seorang ‘alim tertidur pulas di bawah pohon dalam
menempuh perjalanan spiritualnya, mencari makna kearifan hidup. Ia
bermimpi bertemu malaikat yang memberitahukan kepadanya bahwa di antara
sekian banyak orang yang naik haji hanya satu yang berhasil meraih haji
mabrur, sambil memberi tahu ciri-ciri orang yang beruntung itu. Setelah
ia terbangun, segera mencari orang yang dimaksud itu. Betapa
terkejutnya, ternyata orang itu tidak menunaikan ibadah haji di musim
haji tahun itu. Maka ia berusaha mencari tahu apa rahasianya sehingga ia
mendapat gelar atau pahala sekelas haji mabrur. Setelah beberapa hari
menginap di rumah orang itu, ia tidak menemukan hal-hal yang istimewa
dari orang itu. Ibadahnya biasa-biasa saja. Akhirnya, orang itu cerita
bahwa dulu pernah berniat menunaikan ibadah haji dan mengumpulkan bekal
sedikit demi sedikit dari keringatnya sendiri. Setelah bekal itu cukup
dan hendak digunakan untuk berangkat haji, tiba-tiba ada orang miskin
yang sangat membutuhkan bantuannya. Karena ia tak tega melihat
penderitaan si miskin itu, ia pun memberikan bekal hajinya itu untuk
keperluan dan hajat si miskin, sehingga ia tidak jadi menunaikan ibadah
haji.
Demikianlah kisahnya, ia tak jadi berangkat haji, tetapi malah mendapat
predikat haji mabrur. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dalam hadits
shahih al-Bukhari dan Muslim, Nabi SAW. bersabda: “Barangsiapa
berniat melakukan kebaikan (misalnya niat haji), kemudian ia tidak jadi
melakukannya, maka ia dicatat oleh Allah mendapatkan pahala kebaikan
(haji) yang sempurna”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Berangkat dari hadits ini, agaknya sangat relevan dengan kisah
tersebut di atas (walaupun belum tentu kisah tersebut faktual), yaitu
orang yang telah lama berniat haji dengan mengumpulkan bekal dari
keringatnya, tetapi karena ada orang miskin yang amat membutuhkan dan
meminta bantuan kepadanya, bekal untuk hajinya itu diperbantukan
kepadanya, sehingga ia tidak jadi naik haji tahun itu.
Kesediaannya untuk membantu orang miskin itulah yang menyebabkan ia
berhak menyandang gelar haji mabrur. Karena itu, walaupun ia tidak jadi
naik haji, tetapi karena ia telah berbuat kebaikan sebagaimana orang
yang meraih haji mabrur, maka layaklah bila ia meraih pahala haji
mabrur.
Kedua, bertutur kata yang lembut (Thoyyibul Kalam).
Menurut al-Ghazali, kata-kata ini di samping bisa difahami bertutur
kata yang baik, juga berarti berbudi pekerti yang luhur atau berakhlak
yang mulia. Perilaku ini nampak pada orang-orang yang beribadah haji,
baik saat berhaji maupun sesudahnya.
Akhlak yang mulia ini nampak pada tutur katanya yang lembut, baik dan
bersahaja. Tidak suka menyinggung dan menyakiti orang lain. Kalau
berbicara kalimatnya sederhana, disesuaikan dengan orang yang diajak
bicara. Raut mukanya diusahakan cerah, manis dan simpatik sehingga orang
lain senang berbicara dan bergaul dengannya. Lidah dan tangannya
dikendalikan sedemikian rupa agar tidak mengganggu orang lain.
Ketiga, setelah pulang haji kehidupannya menjadi lebih baik daripada sebelum haji.
Indikator yang ketiga ini justru menjadi ukuran yang paling penting,
karena apa yang dikatakan Imam al-Nawawi bahwa tanda-tanda ke-mabrur-an
ibadah haji seseorang adalah kehidupannya setelah haji menjadi lebih
baik ketimbang keadaannya sebelum haji, sebenarnya mengandung makna yang
selaras dengan perkataan Nabi SAW. bahwa tanda-tanda ke-mabrur-an haji
seseorang itu adalah suka membantu, memberikan makan orang lain dan suka
bertutur kata yang lembut hingga orang lain banyak yang suka kepadanya.
Jika semuanya itu dapat dilakukan dengan baik, maka tanda-tanda ke-mabrur-an haji telah melekat pada dirinya. Insya Allah !
Usaha-usaha untuk meraih haji yang mabrur
Setelah mengetahui apa itu haji mabrur dan bagaimana indikatornya,
maka berikutnya adalah bagaimana cara atau kiat-kiat meraih haji mabrur
itu. Dalam hal ini ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:
Pertama, menata niat (haji) yang benar, lurus dan ikhlas untuk memenuhi panggilan Allah.
Kedua, menyiapkan bekal haji (ONH/BPIH) yang cukup dan bersih dari harta yang haram maupun syubhat.
Ketiga, mempelajari manasik haji dengan baik dan benar agar tidak keliru dalam menunaikan ibadah haji.
Keempat, membiasakan bersedekah sejak sebelum berangkat
haji, pada saat musim haji maupun setelah pulang haji. Terutama membantu
meringankan beban derita yang dialami orang-orang miskin atau kaum
dhu’afa lainnya.
Kelima, berusaha untuk bertutur kata yang lembut, baik dan
bersahaja. Menghindarkan diri dari pertengkaran, sikap tinggi hati,
meremehkan orang lain. Menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat
mengganggu dan menyakiti orang lain, sebaliknya berusaha membantu dan
memberikan kemudahan kepada orang lain. Wallahu A’lamu bish Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar