Oleh: Miftahul Khoir (Pelaksana Harian PAY. Al-Bisri)
Setiap malam 27 Rajab kita telah diingatkan kembali sebuah peristiwa
besar dalam sejarah umat islam. Sebuah peristiwa penting yang terjadi
dalam sejarah hidup (sirah) Rasulullah SAW. yaitu peristiwa diperjalankannya beliau (isra’) dari Masjid al-Haram di Makkah menuju Masjid al-Aqsa di Palestina, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi’raj)
dari Qubbah as-Sakhrah (Masjid al-Aqsa) menuju ke Sidrat al-Muntaha
(akhir penggapaian) hingga Mustawa. Peristiwa ini terjadi sekitar satu
tahun sebelum Rasulullah SAW. diperintahkan untuk melakukan hijrah ke
Yatsrib (Madinah) atau bertepatan tahun 621 M.
Ketika itu, Rasulullah SAW. dalam situasi yang sangat “sumpek”,
seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa
masa sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi
dinding kasat dari penjuangan, Abu Thalib meninggal dunia. Sementara
tekanan fisik maupun psikologis kafir Quraisy terhadap perjuangan
semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah,
dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam kesedihan mendalam seperti itulah kemudian Allah SWT. meng-isra’ mi’raj-kan beliau. Hingga jadilah peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu menjadi tasliyah (pelipur
lara) yang sangat luar biasa bagi Rasulullah SAW. sekaligus sebagai
momentum penting untuk semakin memperkuat risalah kenabian Muhammad,
bahwa betapa yang dialaminya bukanlah omong kosong, tapi suatu
kebenaran; sebuah perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad dengan ruh dan
jasadnya, juga dalam keadaan sadar bukan karena mimpi. Inilah kenapa
Allah menjelaskan dalam surat Al-Isra: 1 dengan menggunakan kalimat “Subhanal ladzi asra bi’abdihi”.
Pemilihan kalimat yang diawali “subhana” menggambarkan bahwa yang dialami oleh Muhammad adalah peristiwa yang luar biasa dan spektakuler dan kata “abdihi”
menegaskan bahwa Rasulullah SAW. adalah contoh hamba-Nya. Dialah yang
harus dicontoh untuk mencapai derajat kehambaan. Tidak ada yang pantas
diidolakan dalam perjalanan menuju Allah kecuali Rasulullah SAW.
Peristiwa spektakuler dalam perjalanan isra’ mi’raj yang dilakukan Muhammad ini juga terjadi hanya semalam. Kata “lailan”
pada ayat di atas, yang artinya “pada suatu malam” adalah penegasan
terhadap makna tersebut. Dari sini nampak bahwa kejadian isra’ mi’raj
adalah mu’jizat. Sebab perjalanan sejauh itu ditambah lagi dengan naik
ke langit lapis tujuh sampai ke sidrat al-muntaha adalah jarak yang
tidak mungkin ditempuh dengan kendaraan apapun yang dimiliki manusia
baik pada saat itu maupun pada zaman teknologi yang sangat canggih
seperti sekarang ini.
Untuk mencapai bintang terdekat saja dari bumi dengan mengendarai
pesawat tercepat di dunia “Challenger” dengan kecepatan 20 ribu km
perjam, para ilmuwan mengatakan itu membutuhkan 428 tahun. Sementara
Muhammad dalam isra’ mi’raj itu mengendarai Buraq, seekor binatang yang
berwarna putih dan dapat berlari secepat kilat, mendaki dan menurun
dengan tetap stabil.
Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi: “Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah SAW. bercerita: “Dibawalah
Buraq kepadaku, yaitu seekor hewan yang putih panjang, lebh besar dari
Himar dan lebih kecil dari Bagal. Ia meloncat habis sejauh pandangan,
aku kendarai ia sampai Bait al-Maqdis. Lalu aku ikatkan ia di pautan
dimana Nabi-nabi menautkan kendaraannya” (HR. Muslim)
Sungguh luar biasa kejadian isra’ mi’raj sebagai bukti keagungan
Allah sekaligus sebagai bukti bahwa manusia bagaimana pun pencapaian
keilmuannya masih tetap tidak ada apa-apanya dibanding dengan
kemahakuasaan Allah SWT.
Diikatnya antara dua masjid: Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsha dalam surat al-Isra’: 1 juga menunjukkan beberapa hal: Pertama, bahwa Allah SWT. sangat mencintai masjid. Kedua, bahwa semua bumi ini diciptakan oleh Allah untuk tempat bersujud. Ketiga, bahwa semua masjid dimanapun berada adalah sama, milik hamba-hamba Allah. Dan Keempat, bahwa siapapun yang mengaku beriman ia pasti mencintai masjid dan meramaikannya.
Allah SWT. berfirman: “Yang memakmurkan masjid-masjid Allah
hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta
tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada
siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah:18). Karena dalam sejarah kita menyaksikan Nabi SAW. selalu membangun masjid setiap singgah di suatu tempat.
Selain itu, kata masjid identik dengan ibadah shalat. Dan perjalan
Isra’ mi’raj juga identik dengan penerimaan ibadah shalat, langsung dari
Allah SWT. Di sinilah salah satu keistimewaan shalat; jika ibadah yang
lain diwajibkan melalui wahyu ketika Rasulullah SAW. berada di bumi,
maka untuk mewajibkan shalat, Allah memanggil Rasulullah SAW. ke langit.
Dalam pembukaan surah al-Mu’minun ketika Allah SWT. menyebutkan
ciri-ciri orang mukmin yang bahagia, penyebutan itu dimulai dengan
shalat “alladziina hum fii shalaatihim khaasyi’uun” dan ditutup dengan shalat “walladziina hum ‘alaa shalawaatihim yuhaafidzuun”.
Para ulama tafsir ketika menyingkap rahasia ayat ini mengatakan bahwa
itu menunjukkan pentingnya shalat. Bahwa shalat merupakan barometer
ibadah-ibadah yang lain. Bila shalat seseorang baik, maka bisa
dipastikan ibadah-ibadah yang lain akan ikut baik. Sebaliknya bila
shalat seseorang tidak baik, maka bisa dipastikan ibadah-ibadah yang
lain tidak akan baik. Itulah makna ayat: “Innash sholaata tanhaa ‘anil fahsyaai wal mungkar (sesungguhnya shalat pasti akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar)” (QS. Al-Ankabuut: 45).
Di hari Kiamat pun kelak demikian. Shalat tetap menjadi barometer ibadah-ibadah yang lain. Karena itu Nabi SAW. bersabda: “Awwalu maa yuhasabu bihil ‘abdu yaumal qiyaamati ashshalaatu (yang pertama kali kelak di hisab pada hari Kiamat adalah ibadah shalat)”.
Dengan momentum 27 Rajab yang diyakini sebagai tanggal Isra’ Mi’raj,
patutlah kita mengambil ibrah darinya. Bahwa di tengah misi keimanan,
misi dakwah, Allah menyediakan tasliyah
(pelipur lara). Maka seharusnya shalat yang merupakan oleh-oleh isra’
mi’raj juga menjadi tasliyah kita dari segala beban hidup, beban dakwah,
dan beratnya melawan nafsu juga sebagai sarana dzikir dan penenang
jiwa. Ingat! ‘ala bidzikrillahi tathma’innul qulub. Wallahu A’lamu bish Shawab.
That stated, if you’re looking to gamble online however still don’t know where begin out|to begin} we’d like to as soon as} once more suggest signing up with our top pick. Ignition is virtually guaranteed to offer you one of the 우리카지노 best user experience possible. All of the websites we listing here host RNG-run and provably truthful casino games that are be} frequently audited for randomized outcomes. Online betting is safer when secure payment methods can be found for gamers to utilize. Fiat depositors can add money to their casino wallet utilizing MoneyGram, eChecks, wire transfers, RIA, bank cards, and cash orders.
BalasHapus